JAKARTA, M86 - Polemik soal penentuan hari Lebaran di tanah air belum rampung. Kementerian Agama (Kemenag) terus disorot setelah memutuskan 1 Syawal jatuh Rabu (31/8), berbeda dengan negara-negara Islam di dunia. Kemenag diduga membuat kesalahan fatal sehingga berdampak kegelisahan di masyarakat.
Selain itu, beredar kabar bahwa Menteri Agama Suryadharma Ali dituntut bertanggung jawab atas kesalahan Kemenag yang menolak merevisi hari Lebaran yang ditentukan jatuh pada Rabu setelah hilal mulai muncul Senin tengah malam (29/8). Menag juga dikabarkan meminta maaf karena telah keliru menentukan 1 Syawal.
Informasi yang tersebar melalui BlackBerry Messenger (BBM), Twitter, dan media online lain juga menyebutkan bahwa hilal terlihat jelas menjelang Selasa subuh (30/8). Saat sidang berlangsung, hilal tidak tampak karena tertutup Venus.
Fenomena lain adalah beredarnya informasi dari Rais Suriah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) DKI Jakarta KH Maulana Kamal Yusuf. Dia menyebarkan informasi bahwa 1 Syawal jatuh pada Selasa, 30 Agustus. Maulana percaya dengan tiga saksi yang melihat hilal di Pondok Pesantren Al Husainiah, Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur. Karena itu, dia meminta umat Islam yang telanjur berpuasa Selasa membatalkan puasa.
"Mereka yang berpuasa harus segera berbuka," jelasnya. "Tiga saksi bersumpah melihat hilal tepat magrib. Posisinya miring ke selatan dalam keadaan vertikal dengan durasi hilal lima menit," imbuh Maulana Selasa lalu.
Selain itu, di berbagai forum internet banyak yang menyayangkan keputusan pemerintah yang berbeda dengan negara-negara Islam lain dalam menetapkan 1 Syawal, seperti Arab Saudi, Malaysia, Qatar, dan Turki. Padahal, waktu di Indonesia dengan negara lain tidak terpaut lama dan bulan di dunia ini hanya satu.
Kemarin pemerintah langsung merespons kegelisahan masyarakat itu. Setelah Lebaran, Kemenag menjanjikan suatu pertemuan dengan ormas-ormas Islam. Tidak sekadar silaturahmi, pertemuan tersebut juga membahas polemik penentuan 1 Syawal. "Tahun depan masih bisa beda," ujar Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Ahmad Jauhari.
Kenapa? Alasannya simpel. Selama ormas Islam belum satu suara soal kriteria melihat hilal, perbedaan akan terus terjadi. Dia lantas mencontohkan Muhammadiyah yang merujuk konsep wujudul hilal atau hisab dan NU yang menggunakan mekanisme imkanurrukyah (visibilitas hilal).
Versi Jauhari, pertemuan nanti sekaligus bertujuan menegaskan bahwa pihaknya tidak condong kepada ormas mana pun. Sebisanya pemerintah akan menengahi perbedaan di antara ormas-ormas tersebut. Dia juga menyatakan selama ini sudah berusaha menyelesaikan polemik tersebut. "Masih kami coba jadi satu," imbuhnya.
Namun, soal kapan pertemuan tersebut dilaksanakan, Jauhari belum tahu pasti. Dia hanya menjanjikan bahwa pertemuan tersebut pasti dilakukan untuk menyelesaikan persoalan umat yang satu itu. Sebab, dalam pertemuan nanti, kebanyakan yang dibicarakan adalah kriteria penentuan 1 Syawal. "Selama ini, belum ada kriteria pasti," tuturnya.
Lantaran tidak ada kriteria baku, pemerintah selama ini menggunakan pola hisab dan rukyat. Keduanya disinergikan untuk menghasilkan keputusan baku. Beberapa kali cara tersebut diakuinya berjalan baik. Sebab, Indonesia juga pernah berlebaran pada hari yang sama dengan negara lain. "Bisa cepat selesai asal hati masing-masing terbuka," jelasnya.
Suryadharma mengatakan, pemerintah tetap berupaya bisa membuat seragam penetapan 1 Syawal. Menurut dia, perbedaan metode hisab dan rukyat sudah tidak menjadi masalah. "Bedanya cuma di kriteria. Itu saja," katanya setelah menghadiri open house Presiden SBY di Istana Negara kemarin.
Kriteria tersebut, lanjut Suryadharma, terkait dengan ukuran melihat hilal. Muhammadiyah menyatakan, ketika hilal 0,1 derajat di atas ufuk, sudah terjadi pergantian bulan. Sementara itu, sidang isbat yang diikuti belasan ormas lain menerapkan kriteria 2 derajat.
Suryadharma mengatakan, pemerintah bersama ormas-ormas Islam, ulama fikih, dan ahli astronomi bakal membahas kriteria tersebut sehingga menciptakan keseragaman. "Kami akan kumpul lagi, coba samakan persepsi. Tidak usah diributkan lagi," tegas ketua umum PPP itu.
Dalam kesempatan tersebut, Suryadharma menegaskan bahwa keputusan sidang isbat (29/8) merupakan kesepakatan setelah mempertimbangkan pandangan ormas-ormas Islam. Bahkan, Muhammadiyah yang mengambil keputusan berbeda (1 Syawal 1432 H jatuh pada 30 Agustus) juga menghormati keputusan itu. "Namun, (Muhammadiyah) minta izin untuk melaksanakan Idul Fitri Selasa," tuturnya.
Dia menegaskan, pemerintah konsisten dengan keputusan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu, 31 Agustus. Karena itu, dia membantah kabar yang beredar bahwa pemerintah mengakui kesalahan dalam sidang isbat lalu. Termasuk, berita tentang adanya kebohongan dalam sidang isbat.
Soal penetapan 1 Syawal yang berbeda di negara lain, seperti Malaysia dan Arab Saudi, Suryadharma mengatakan bahwa hal itu mungkin. "Mungkin saja ada perbedaan dalam prosesnya," terang dia.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Fatah Wibisono sepakat dengan rencana duduk bareng tersebut. Sebab, selama ini intensitas pertemuan antarormas Islam untuk menentukan hari raya Islam masih kurang. Pertemuan seperti itu kali terakhir terjadi pada era Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dia masih ingat betul, kala itu ada tiga pertemuan. Yakni, pertemuan pimpinan-pimpinan ormas Islam, dilanjutkan dengan pertemuan di PB NU pada 2007 dan pertemuan PP Muhammadiyah di Jogjakarta sekitar akhir tahun yang sama atau awal 2008. "Pertemuan seperti itu yang kami harapkan bisa diperbanyak," ucap dia.
Menurut dia, itu penting karena pertemuan yang sudah dilakukan masih menyentuh kulit saja. Belum menyentuh isi penentuan sikap itu sendiri. Namun, dia menggarisbawahi bahwa barengnya Lebaran tidak semata-mata disebabkan kriteria. "Tetapi, karena ketinggian hilal," papar dia.
Fatah optimistis, dengan ditingkatkannya pertemuan seperti itu, Muhammadiyah tidak akan kaku dengan pendiriannya. Artinya, pindah "keyakinan" dalam menghitung munculnya bulan dimungkinkan. "Yang penting, ada ketemu dahulu," terang dia.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Lajnah Falakiah PB NU Ahmad Ghazalie Masroeri. Dia mengatakan, NU justru sejak dulu menunggu adanya pertemuan tersebut. Dia berharap, dalam pertemuan itu tidak ada pihak yang bersikeras bahwa metodenya paling benar. Kalau tiap-tiap ormas tetap bersikeras, pertemuan-pertemuan yang digelar pasti sia-sia.
Ghazalie menambahkan, pihaknya siap jika pertemuan itu akhirnya harus membuat NU berganti metode. Yang penting, jelas dia, umat Islam di Indonesia tidak bingung dan terpecah. Sebab, yang dirugikan dari meruncingnya perbedaan pendapat selama ini adalah umat.
NU, imbuh Ghazalie, selama ini tidak mendasarkan penentuan 1 Syawal hanya pada hisab. Pihaknya menggunakan metode hisab, tetapi juga tetap melakukan rukyatul hilal untuk verifikasi. Sejumlah metode modern juga diadopsi. Sebab, ilmu astronomi merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis.
"Sejak dulu, NU selalu menjadi ormas yang terbuka, selama itu untuk kepentingan umat. Yang penting tetap mengacu Alquran dan as-sunnah, kami siap duduk bersama untuk membahas metode yang paling tepat. Kami siap jika harus berganti metode," tegas dia. (cok/*jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar