Kamis, Oktober 29, 2009

Warga Kampungpulo Tolak Mahasiswa SETIA

JAKARTA, MP - Pasca terusir dari eks Kantor Walikota Jakarta Barat, kini nasib mahasiswa Sekolah Tinggi Thelogia Injili Arastamar (SETIA) belum jelas. Wacana pemindahan ke bekas kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara pun urung. Belakangan mereka menginginkan agar dapat kembali ke kampus dan mes mahasiswa semula, yakni di Kampung Pulo, Pinangranti, Makasar, Jakarta Timur.

Namun keinginan mereka untuk kembali ke tempat asalnya sejak jauh-jauh hari sudah ditentang warga setempat. Warga Kampungpulo, Pinangranti, sudah membentangkan spanduk yang bertuliskan tentang penolakan warga terhadap mahasiswa SETIA.

Alasan warga, mereka masih trauma dan khawatir jika para mahasiswa itu kembali ke tengah-tengah masyarakat, nantinya akan menimbulkan ketidaktenangan bagi masyarakat setempat. Penolakan itu diperkuat dengan beberapa spanduk yang dipasang di sekitar kawasan Pinangranti, Makasar yang bertuliskan tentang penolakan warga Kampungpulo yang tidak ingin mahasiswa SETIA kembali ke wilayahnya.

Risman (39) salah seorang warga Kampungpulo RW 04 Pinangranti mengatakan, sebenarnya jika dahulu mahasiswa SETIA tidak membuat ulah dan mengganggu kenyamanan warga sekitar, mereka akan tetap bisa belajar dengan tenang hingga sekarang. "Namun karena sudah bikin onar maka warga ramai-ramai mengusirnya," ujarnya, Kamis (29/10).

Menurutnya, pemindahan tempat perkuliahan mereka dari Kampungpulo ke gedung eks kantor Walikota Jakarta Barat, yang sebelumnya juga pernah di kawasan Cibubur adalah untuk mengantisipasi kembalinya mahasiswa SETIA ke kawasan Makasar. Karena hingga kini warga setempat telah memajangkan beberapa spanduk yang berisi penolakan warga agar mahasiswa SETIA tidak kembali ke daerahnya.

Sejak pemindahan Yayasan SETIA ke eks kantor Walikota Jakarta Barat, kampus dan mes mereka di Kampungpulo masih berada dalam kondisi seperti semula. Yakni masih ada garis polisi (police line). ”Pokoknya kami sebagai warga Makasar tetap menolak kedatangan para mahasiswa SETIA ke kampung kami,” katanya.

Wakil Camat Makasar, Dian Purfanto, menjelaskan pihaknya hanya menginginkan warganya dapat tenang dan damai hidup bertetangga. Mengenai adanya pemasangan spanduk penolakan warga terhadap kedatangan mahasiswa SETIA ke wilayahnya, itu adalah sebuah keinginan warga sendiri.

”Spanduk itu dipasang oleh warga yang menolak mahasiswa SETIA kembali. Meskipun spanduk itu dicopot oleh petugas Satpol PP, tapi dalam beberapa waktu saja, spanduk itu kembali dipasang dengan yang baru. Artinya, warga tetap menolak kedatangan para mahasiswa SETIA ke wilayah Makasar,” jelasnya.

Dia menambahkan Yayasan SETIA memang sudah beberapa kali mengalami pemindahan. Yakni dari Kampungpulo ke Bumi Perkemahan Cibubur dan gedung Transito dan selanjutnya ke eks gedung Walikota Jakarta Barat. Selain itu keberadaan asrama mereka yang memang terpisah-pisah sehingga sangat bersinggungan dengan warga setempat.

”Laporan yang saya terima dari masyarakat bahwa dahulu mahasiswa SETIA selain dirasakan mengganggu kenyamanan warga, mereka juga tidak menghormati keberadaan warga pribumi. Hingga akhirnya para tokoh masyarakat meminta agar kegiatan belajar di Kampus SETIA itu dipindah untuk ketenteraman warga," paparnya.

DKI Telah Maksimal

Keinginan kuat 1.100 mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Theologi Injili Arastamar (SETIA) untuk tetap bertahan di bekas kantor Walikota Jakarta Barat mengundang berbagai polemik. Keinginan mahasiswa SETIA kembali ke gedung kampus lama di Kampung Pulo, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur memuculkan anggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memberikan perhatian khusus kepada mereka. Padahal, jika dirunut sejak kejadian awal pengusiran mereka dari lokasi kampus lama, pihak yang pertama kali memberikan bantuan dan perlindungan yaitu Pemprov DKI Jakarta.

Pada Juli tahun lalu, mahasiswa SETIA diusir dari kampus oleh masyarakat sekitar. Warga mengatakan bentrokan yang terjadi pada 25 Juli lalu antara warga dengan mahasiswa SETIA merupakan puncak permasalahan yang terjadi sejak kampus itu berdiri.

Penyebabnya, keberadaan Kampus SETIA dan mahasiswanya menimbulkan suasana tidak kondusif, karena berada di tengah perkampungan padat penduduk. Buntutnya, mereka diminta pindah dari kampusnya di Kampung Pulo, Jakarta Timur karena warga sekitar mengancam akan perang jika tidak segera hengkang dari kawasan tersebut.

Untuk menenggarai kerusuhan itu, Pemprov DKI yang sangat memperhatikan pendidikan di Jakarta, berusaha membantu seluruh mahasiswa agar kegiatan perkuliahan dapat terus dilaksanakan. Akhirnya, Pemprov DKI memberikan tempat pengungsian di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur. Namun, pengelola Bumi Perkemahan Cibubur meminta tagihan sebesar Rp67 juta kepada pengurus SETIA dan mengultimatum agar seluruh mahasiswa SETIA pergi, karena tidak memperpanjang masa kontraknya.

Melihat kesusahan itu, Pemprov DKI kembali tidak tinggal diam. Agar tidak menambah kesulitan para mahasiswa, Pemprov DKI kembali mengupayakan tempat penampungan bagi ribuan mahasiswa tersebut. Bekerja sama dengan DPR RI, tempat penampungan yang disediakan di gedung Transito Induk Departemen Transmigrasi di Pondokkelapa, Jakarta Timur. Setelah satu tahun empat bulan mengungsi di tempat itu, mereka dipindahkan ke bekas kantor walikota Jakarta Barat, Jl S Parman, Kecamatan Grogolpetamburan pada Februari 2009. Mereka dipindahkan agar mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dan dapat melanjutkan kegiatan perkuliahan dengan baik.

Saat itu, gedung tersebut masih dalam keadaan kotor. Untuk membersihkan dua lantai tersebut, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat mengerahkan 300 personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebanyak dua lantai ini difungsikan sebagai asrama dan juga sebagai tempat berlangsungnya perkuliahan, ditambah lagi dengan fasilitas air dan lampu. Pemakaian gedung kantor walikota lama ini adalah perintah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Tidak hanya itu, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terus berupaya berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mencari jalan keluar yang tepat dan menyenangkan semua pihak. Bahkan, Pemprov DKI berkonsultasi dengan Persatuan Gereja di Indonesia (PGI) untuk meminta usulan jalan keluar.

Tak lama kemudian, muncul hasil amar putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (PK MA) yang menyatakan, lahan diatas bangunan itu sudah sah menjadi milik Yayasan Sawerigading. Sehingga, bangunan harus segera dikosongkan, karena akan dipakai kembali oleh yayasan. Akibatnya, ribuan mahasiswa SETIA kembali harus pindah dari bangunan yang telah mereka tempati hampir delapan bulan.

Melihat itu, Pemprov DKI kembali menginisiasi pencarian jalan keluar terbaik. Pemprov DKI Jakarta akan meminta bantuan Yayasan Sawerigading untuk membantu proses evakuasi mahasiswa SETIA ke eks kantor Sudin Transmigrasi Jakarta Utara.

Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Muhayat, mengatakan, agar ribuan mahasiswa SETIA tidak terkatung-katung cukup lama, Pemprov DKI akan meminta bantuan Yayasan Sawerigading untuk membantu proses evakuasi. Selain itu, yayasan tersebut juga diminta untuk turut membantu renovasi eks kantor Sudin Transmigrasi di Jakarta Utara agar layak huni.

Hal senada juga dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Mantan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta ini mengatakan, sudah ada rencana memindahkan mahasiswa SETIA ke gedung yang telah disediakan Pemprov DKI. Menurutnya, diperlukan pembicaraan lebih lanjut yang mengarah ke pencarian lokasi tetap untuk fasilitas tempat pengajaran mahasiswa dan pendidik SETIA. Juga perlu dibicarakan penyelesaian dalam jangka pendek dan jangka panjang. “Saya tidak ingin mereka nomaden, selalu pindah-pindah. Harus ada penyelesaian akhir,” tukasnya.

Sedangkan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana, menegaskan, apa yang dilakukan Pemprov DKI terhadap mahasiswa SETIA telah maksimal. Karena itu, dia meminta agar pihak pengelola kampus mau bekerja sama dengan Pemprov DKI terkait pemindahan mereka ke eks kantor Sudin Transmigrasi, Jakarta Utara.

Penolakan dipindahkan ke tempat yang baru dan keinginan kuat untuk kembali ke lokasi asal di Kampung Pulo, dinilai Lulung sebagai tindakan yang tidak bijaksana dan tidak menghormati setiap langkah kebijakan yang diambil Pemprov DKI. “Jangan bilang Pemprov DKI tidak peduli. Apa yang sudah dilakukan Pemprov DKI kepada mereka sudah sangat maksimal. Segala upaya telah dilakukan. Jadi, seharusnya mereka menghargai inisiatif Pemprov DKI untuk memindahkan mereka ke tempat yang baru dan lebih layak,” tegas Lulung di Jakarta, Kamis (29/10). (red/*bj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails