Kamis, Oktober 29, 2009

PIK Belum Bayar Lahan Garapan Pejuang

JAKARTA, MP - Pembangunan perumahan mewah Pantai Indah Kapuk hingga kini masih berpolemik. Sebab, pihak pengembang PT Mandara Permai (MP) diduga belum menyelesaikan masalah pembebasan lahan di kawasan itu. Lahan yang telah dikuasai pengembang tersebut sejauh ini masih diklaim oleh Kapten (Purn) Niing (68) yang membuka lahan garapan sejak 1961 di RT 01/04 Kelurahan Kapukmuara, Penjaringan, Jakarta Utara.

Sayangnya Niing menilai lahan tersebut telah berpindah tangan secara tidak sah, begitu PT Mandara Permai menguasai lahan tersebut. Lahan seluas 86,664 hektar yang diperkuat surat hak garap No 147/AV-2?JU/78 langsung diserobot dan dijadikan pemukiman elite Pantai Indah Kapuk (PIK). Selama ini, Niing telah berupaya mendapatkan ganti rugi dengan menyurati aparat pemerintah hingga DPRD DKI, namun belum membuahkan hasil.

Awal lepasnya lahan garapan seluas 86,664 hektar yang dimiliki 18 penggarap itu bermula saat adanya kerja sama antara Pemprov DKI dengan PT Mandala Permai pada 27 Desember 1987. Hasil perjanjian kerja sama itu memutuskan, agar lahan bekas hutan itu dijadikan perumahan elite. Sayangnya, saat terjadi pembebasan lahan oleh Tim 9 (sekarang panitia pengadaan tanah), Kapten (Purn) Niing tidak mendapatkan ganti rugi. Karena memang lahan yang digarap Niing itu bukan yang termasuk dibebaskan.

Ironisnya, pada 2002 PT Mandara Permai menguruk lahan yang pernah dikuasai Niing sejak tahun 1961.Kini lahan tersebut telah disulap jadi hunian elite dan sebagiannya masih dijadikan lapangan. Akibatnya Niing bersama keluaganya harus hengkang dari lahan yang menjadi penopang hidupnya itu.

HM Rodja, Pengacara Kapten (Purn) Niing, mengatakan, berdasarkan dokumen perjanjian antara Pemprov DKI Jakarta dengan perusahaan swasta itu, terungkap bahwa lahan di kawasahan hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara sebenarnya seluas 1. 162,48 ha. Sedangkan luas lahan yang dikerjasamakan dengan PT MP adalah hanya 831,63 ha.

Namun berdasarkan Perda nomor 5 tahun 1984 tentang peruntukan lahan kawasan hutan Angke Kapuk hanya ditetapkan seluas 50 persen dari 1. 162,48 ha atau 581,24 ha yang dapat dikembangkan dan dibangun oleh PT MP dengan rincian untuk pemukiman seluas 487, 89 ha, bangunan umum (hotel dan lain-lain) 93, 35 ha dan ditambah untuk lahan rekreasi air seluas 81, 26 ha. Jadi total keseluruhan lahan yang dikerjasamakan adalah seluas 831, 63 ha.

“Pada kenyataannya luas lahan yang dibangun pemukiman saat ini tidak sesuai dengan ketentuan Perda tersebut. Hampir seluruh lahan dibangun perumahan mewah," uar HM Rodja, kuasa hukum ahli waris Kapten Niing, Kamis (29/10).

Menurutnya, dari kasus ini maka negara dirugikan triliunan rupiah akibat peruntukan lahan hutan kapuk yang tidak sesuai dengan Perda tersebut. Apalagi PT MP dalam perjanjian dengan Pemprov DKI, hanya membayar kewajiban sebesar 50 persen dari nilai retribusi SIPPT (surat izin penunjukkan penggunaan tanah) atau sekitar Rp 2, 494 miliar, yang pembayarannya dilakukan dalam dua tahap yakni tahap pertama 10 persen dan tahap kedua dicicil selama 25 tahun sejak perjanjian ditandatangani kedua belah pihak hingga tahun 2012 mendatang.

Padahal menurut Perda nomor 1 tahun 1983 tetntang retribusi, pembayaran retribusi SIPPT yang lazim dilakukan oleh setiap perusahaan pengembang adalah tunai. Sehingga sampai saat ini SIPPT di kawasan perumahan PIK tidak pernah diterbitkan. Apabila terdapat pemilik tanah yang memiliki sertifikat, maka sertifikatnya harus dipertanyakan keabsahannya.

Menurutnya, jika melihat dokumen perjanjian kerja sama pembangunan dan pengembangan tanah kawasan hutan Angke Kapuk, terdapat keganjilan dalam surat perjanjian formal yang tidak dibuat di atas kop surat Pemprov DKI, tidak ada nomor registrasi Pemda dan tidak didaftarkan ke notaris kecuali hanya di atas meterai.

Perjanjian yang dibuat tanggal 27 Agustus 1987 itu ditandatangani oleh Gubernur DKI saat itu R Soeprapto (Alm) dan pihak PT MP diwakiliki Komisaris Utama Sudwikatmono dan Dirut H Subagdja Prawata (Alm).

HM Rodja menilai pernjanjian ini kemungkinan cacat hukum dan menjadi tugas KPK untuk menyelidiki kasus ini sampai tuntas.

Karena dimensi kasus ini selain merugikan keuangan negara, khususnya pemasukan kas daerah juga timbulnya masalah banjir di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta, membuat pemerintah harus membangun kembali jalan yang lebih tinggi, yang secara tidak langsung biaya tol akan dibebankan pada masyarakat pengguna jalan tol dengan tarif yang cukup mahal.

“Dapat dibayangkan berapa besar kerugian negara dan tidak tertutup kemungkinan penghuni perumahan PIK yang telah membeli dengan harga sangat mahal, NJOP di sana Rp 5 juta per meter2. Mereka bakal mengalami kerugian karena seluruh sertifikat yang diterbitkan dapat dibatalkan demi hukum,” ungkapnya.

Menurut Rodja, latar belakang batalnya demi hukum karena PT MP hanya membebaskan hak garap atas lahan yang dikuasainya dengan nilai hanya 25 persen dari NJOP PBB pada saat itu (tahun 1984). Dengan demikian, lahan PIK masih berstatus milik negara cq Pemprov DKI Jakarta.

Sebelumnya diberitakan, Surat hak garap No 147/AV-2/JU/78 yang dikantongi Niing menjadi mentah. Karena PT Mandara Permai sudah memiliki sertifikat hak milik atas lahan seluas enam hektar itu yang menjadi hak Niing. Pada Kamis (6/11) tahun lalu, Niing bersama tim kuasa hukumnya mengadu ke Komisi A DPRD DKI Jakarta guna meminta bantuan keadilan atas kasus penyerobotan lahan tersebut. Sayangnya, masalah ini menguap begitu saja tanpa ada tindak langjut anggota dewan.

Sepekan kemudian, tepatnya pada 18 November 2008, Ketua DPRD DKI Jakarta saat itu, Ade Surapriatna, mengirim surat ke Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Dalam surat bernomor 1313/-073.6 itu dewan menyebutkan bahwa panitia 9 telah membebaskan lahan yang diperuntuan kepada PT Mandala Permai, namun Kapten (Purn) Niing tidak mendapatkan pembayaran ganti rugi atas hak garap karena garapan milik Niing itu tidak terkena peruntukan kepada PT Mandara Permai itu.

Dalam kutipan surat yang dikirim Ade Surapriatna ke gubernur, dikatakan, DPRD berkesimpulan bahwa pengaduan Niing benar dan tidak ada rekayasa. Untuk itu kiranya gubernur dapat memerintahkan kepada PT Mandara Permai untuk segera membayar uang ganti rugi atas hak sebagai penggarap sesuai dengan kesepakatan bersama. (red/*bj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails