JAKARTA, MP - Pola penyerangan yang dilakukan teroris dari peledakan bom berubah menjadi serangan melalui penembak jitu. Bahkan mereka telah berlatih di Aceh bagaimana jadi penembak jitu.Meski demikian, cara dengan meledakkan bom masih harus diwaspadai.
Meski di Indoensia belum pernah ada teroris menggunakan senjata api, namun indikasi ke arah tersebut harus diperhitungkan. Mabes Polri mengaku pola penyerangan teroris masih pada cara peledakan bom baik itu bom bunuh diri mau yang dikendalikan dari jarak jauh menggunakan remote control.
“Sementara ini kita masih menyimpulkan bahwa pelatihan militer yang dilakukan di Aceh hanya pemindahan lokasi latihan dari yang sebelumnya dilakukan di luar negeri,” jelas Kadiv Humas Polri Irjen Pol Edward Aritonang.
Menurut Aritonang, latihan menembak bagi kelompok teroris adalah latihan basic yang harus dilalui oleh semua anggotanya. “Latihan itu dilakukan secara bergelombang. Bila satu gelombang selesai, maka dilanjutkan oleh gelombang berikutnya, namun terlacak oleh kepolisian,” tambah mantan Kapolda NTT ini.
Manyangkut indikasi serangan menggunakan senjata api, menurut Aritonang bisa saja strategi itu akan dilakukan pelaku. “Namun sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti kea rah sana,” tandas Aritonang.
Dalam catatan, pola penyerangan menggunakan senjata api pernah dilakukan kelompok Ali Imron pada tahun 1981. Kelompok Ali Imron menyerang markas Polsek Cicendo, Bandung, sejumlah polisi tewas selanjutnya mereka merampas senjata api. Ali Imron yang juga merancang pembajakan pesawat Garuda yang dikenal dengan ‘pembajakan Woyla’ dijerat dengan UU Subversif dan dihukum mati.
Pengamat Intelijen Wawan Hari Purwanto mengatakan sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan bahwa pola operasi teroris itu berubah dari model bom ke sniper. “Dari data a teroris yang tertangkap sampai saat ini belum ditemukan petunjuk itu, kalau pun sekarang berkembang wacana itu ya masih sebatas menduga-duga,” kata Wawan yang dihubungi.
Pernyataan Wawan terkait adanya khabar bahwa pola gerak dan operasi teroris dalam mencapai target berubah, tidak lagi menggunakan bom tetapi menjadi sniper (penembak jitu). Informasi ini didukung dengan ditemukannya kamp-kamp latihan menembak para teroris di Aceh.
Selain itu juga adanya satu mantan polisi yang desersi dari tugas dan disebut-sebut menjadi pelatih menembak. Pola sniper ini dimaksudkan juga menghindari korban diluar target dan kecaman masyarakat.
Lebih lanjut Wawan mengatakan, bahwa target teroris semata-mata bukan untuk membunuh sasarannya saja tetapi juga menimbulkan kekacauan dan kesan tidak aman secara masif. “Lagipula kalau sniper itu sasarannya pasti kelompok VVIP yang punya pengaman,” katanya. “Itu artinya, dengan cara menembak berarti mereka akan berhadapan dengan pengawalnya.
Berhadapan dengan pengawal VVIP pun belum tentu menang bagaimana kalau harus berhadapan dengan satu isntitusi aparat ”
Wawan menambahkan, dengan cara ini potensi teroris tertangkap sangat besar bila cengan cara menembak. “Contohnya saat penembakan Presiden Husni Mubarak, tidak lama kemudian penembaknya bisa ditangkap, pada hal saat itu penembak berada di antara gedung-gedung bertingkat tinggi,” jelasnya.
Ditanya tujuan pelatihan menembak teroris, Wawan mengatakan bisa saja itu bagian dari pola latihan biasa atau pola lain untuk mempertahankan diri, bukannya penyerangan target.
Memang ada informasi dari kalangan teroris mereka sekarang tidak mau lagi menggunakan bom bunuh diri lantaran mendapat kecamanan dari masyarakat maupun pemuka agama. Bunuh diri oleh agama apapun dilarang.
Selain itu sering kali dengan cara meledakkan bom yang meninggal bukan orang asing seperti target semula tetapi justru orang pribumi atau malah lebih banyak dari muslim.
Rencananya teroris akan menembaki kerumunan orang asing yang ada di Indonesia bahkan secara bersamaan di beberapa tempat semisalnya di Jakarta.
Dibawa ke Jakarta
Dua jenazah teroris yang tewas saat baku tembak dengan polisi di Aceh Besar tiba di RS Polri Sukanto, Kramatjati, Jaktim, Minggu (14/3). Jenazah Jaja alias Enceng Kurnia alias Umar Yusuf dan jasad Pura Sudarman diangkut menggunakan dua ambulans.
Peti mati yang membawa jenazah diangkut dari Aceh diangkut menggunakan pesawat Lion Air. Jaja dan Enceng tewas dalam baku tembak di Aceh Besar, Jumat (12/3).
Dalam catatan polisi, Jaja disebutkan sebagai guru dari Imam Samudra dan pernah mengorganisir latihan di kamp Mindanao, Philipina. Dia juga disebutkan bukan dari kelompok JI, melainkan aktif di NII kelompok Banten.
Untuk menumpas kelompok ‘teroris Aceh’ aparat Brimob masih menyisir sejumlah wilayah di Aceh Besar untuk memburu tujuh orang anggota kelompok teroris yang masih bergerilya di hutan. (red/*pk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar