JAKARTA, MP - Obral remisi bagi koruptor dinilai telah merusak rasa keadilan masyarakat. ICW mengingatkan pemerintah bila masih serius dan berkomitmen dalam memberantas korupsi, maka harus ‘mengharamkan’ remisi bagi koruptor.
“Saya berpikir agar dilakukan revisi. Walaupun berdasarkan PP No 28 tahun 2006 diperbolehkan ya, tapi menurut saya remisi kepada koruptor itu tidak pantas,” kata aktivis ICW, Tama S Langkun, di Jakarta, Rabu, (25/8).
Dalam pasal 34 ayat 3 butir (a) dan (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 28 tahun 2006 diterangkan bahwa narapidana dengan kejahatan serius seperti terorisme, narkoba, dan korupsi bisa diberikan remisi bila berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga dari masa tahanan.
Pada peringatan HUT RI 17 Agustus lalu, sebanyak 341 narapidana korupsi mendapat remisi. 11 di antaranya mendapat remisi umum tingkat dua dan langsung bebas, termasuk besan Presiden SBY, Aulia Pohan dan Syaukani HR yang mendapat grasi.
Keduanya mendapat remisi dan grasi karena dinilai telah memenuhi syarat seperti yang tertuang dalam PP tersebut.
Meskipun telah didasarkan pada pertimbangan peraturan yang berlaku, ICW khawatir pemberian remisi kepada banyak koruptor akan menjadi semacam tren yang berkembang. Tren ini tentunya bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah didengungkan oleh Presiden SBY sejak masa awal pemerintahannya.
“Sudah penjatuhan hukumannya ringan, masa tahanannya juga ringan, eh… malah mendapat diskon melalui remisi. Jadi menurut saya harus ada revisi terkait pemberian remisi agar pelaku korupsi lebih takut dan menimbulkan efek jera,” tandasnya. (red/*mtn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar