JAKARTA, MP - Kasus malapraktik di negeri ini tak kunjung surut. Pekan lalu, dua dokter Rumah Sakit Bhakti Kartini, Bekasi Timur, yang dituding melakukan malapraktik hingga Silviana Demina (40) meninggal dunia hari Kamis (4/2) lalu, dilaporkan ke Polrestro Bekasi oleh keluarga pasien.Sebulan lalu, Alfonsus Budi Susanto, korban malapraktik Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang yang sekarang mengalami kelumpuhan, kini mencari penyelesaian dengan pihak manajemen rumah sakit melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dua kasus malapraktik yang terungkap di Jabodetabek itu, sekadar contoh bahwa potret pelayanan kesehatan para dokter terhadap masyarakat menunjukkan wajah suram.
Tak ada angka resmi kasus malapraktek di negeri ini. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bidang Kesehatan sejauh ini sudah menangani 1.200-an kasus malapraktik yang dilakukan petugas medis.
Jumlah sesungguhnya kasus malapraktik di negeri ini jauh lebih tinggi. Menurut Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, di Amerika Serikat saja dengan regulasi yang serba ketat dan peralatan medis modern, tercatat 75.000 kasus malapraktik pada tahun 2009.
"Kami memperkirakan rata-rata tingkat malapraktik di Indonesia mencapai 350.000 orang per tahun atau empat kali dari Amerika! Ini juga sudah bagus daripada angkanya lebih tinggi lagi," kata Iskandar Sitorus.
Angka 350.000 orang per tahun diperoleh atas hitungan lima persen dari jumlah pasien yang berobat jalan dan rawat inap. Angka lima persen ini merupakan angka moderat atas pertanggungan risiko asuransi yang dipatok 1,5 persen hingga 15 persen per tahun dari total orang berobat jalan dan rawat inap. Sedangkan jumlah pasien berobat jalan dan rawat inap pada tahun 2009, sebanyak 7,5 juta sampai delapan juta orang.
Di Jepang saja, menurut survei Badan Mutu Pelayanan Kesehatan Jepang (JCQHC), jumlah kasus malapraktek yang terjadi di Jepang selama tahun 2008 mencapai 1.440 kasus atau naik 174 kasus dibanding tahun 2007.
Juru bicara JCQHC menyatakan, sebanyak 39,8 persen dari kasus malapraktek yang ditemukan terkait dengan kesalahan diagnosa dan kelalaian konfirmasi. Survei juga menemukan, jumlah kasus yang berakhir pada kematian berjumlah 115, sedangkan jumlah kasus yang memiliki risiko tinggi berjumlah 144. Survei yang dilakukan JCQHC ini dilakukan terhadap 270 rumah sakit di seluruh Jepang.
Jadi, kasus malapraktek sesungguhnya bukan hanya ada di Indonesia. Maksudnya, di Amerika dan Jepang saja kasus tersebut cukup tinggi, apalagi di Indonesia. Belum lagi di negara-negara miskin di dunia yg memang peralatan medis dan obat-obatannya serba minim. Bisa dibayangkan, berapa korban setiap tahunnya jadi korban malapraktik.
Kembali ke tanah air, sejauh ini masyarakat yg dirugikan oleh ulah dokter atau rumah sakit yg "teledor" boleh jadi sebagian besarnya "menutup diri" atau cari aman. Mereka ini cenderung menyerahkan nasib kepada dokter atau rumah sakit yang merawat keluarganya.
Kalaupun tiba-tiba salah satu anggota keluarganya didapati "koma", upaya yg bisa dilakukan menunggu kerja para dokter. Mereka lupa, mengapa bisa terjadi "koma" jika sebelumnya normal-normal saja.
Nah, sudah seharusnya sejumlah tanya disampaikan ke pihak dokter yg menangani pasien pihak keluarga. Maksudnya agar ada kejelasan penyakit yg diderita pasien.
Menurut Direktur LBH Kesehatan Iskandar, dalam proses pengobatan tersebut pihak keluarga harus menyimpan kopi resep ataupun jenis-jenis arsip administrasi yang diperoleh dari rumah sakit. Bahan-bahan ini diperlukan jika terjadi sesuatu yg merugikan, sebagai berkas penuntutan.
Lapor juga ke Polda
Menyikapi korban malapraktik Rumah Sakit Bhakti Kartini, Bekasi Timur, Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus menilai, pihak keluarga korban sebaiknya melaporkan juga kasusnya ke Polda Metro Jaya. Pasalnya aparat di Polda cenderung memiliki tim yang lebih memahami masalah kedokteran.
"Saran saya, lapor juga ke Polda, selain melaporkan kasusnya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia," kata Iskandar, terkait dua dokter Rumah Sakit Bhakti Kartini yang diadukan ke Polrestro Bekasi oleh keluarga pasien.
Menurut Iskandar, masyarakat yang sejauh ini dirugikan oleh pelayanan para dokter, memang punya hak hukum untuk menuntutnya. Namun LBH Kesehatan ke depannya mengkhawatirkan alat-alat bukti yang disimpan pasien justru jarang disimpan, karena menyepelekan alat bukti.
Iskandar menyebutkan, LBH Kesehatan dalam pendampingan terhadap korban malapraktik selalu memberikan solusi, selain melaporkan ke Polda, juga ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan upaya hukum perdata.
Melalui tiga jalur tersebut, yakni pidana (lewat Polda), administrasi (lewat MKDKI), dan perdata (pengacara), maka harapan untuk dikabulkannya tuntutan cenderung dapat diraih. Namun Iskandar menyebutkan, korban harus menyiapkan mental dan pikirannya, karena kasus malapraktik pada umumnya memakan waktu yang cukup panjang.
"Pesan saya, dalam mencari upaya hukum jangan jenuh. Mereka perlu didorong atau didampingi supaya tidak jenuh," kata Iskandar.
Disinggung apakah LBH Kesehatan dapat mendampingi keluarga korban, ia menyebutkan, asalkan keluarga korban mendatangi LBH Kesehatan, maka LBH Kesehatan siap saja membantunya.
Iskandar menyebutkan, untuk perkara pidana, umumnya selesai dalam 1-2 tahun dan perdata bisa 6-9 tahun. "Biasanya kesabaran itu membuahkan hasil," kata Iskandar, menyebutkan bahwa kasus malpraktik terhadap korban yang didampingi LBH Kesehatan sejak tahun 2004 berhasil dikabulkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada bulan Desember 2009 lalu dengan tuntutan Rp 825 juta diraih oleh orang miskin. (red/*wk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar