JAKARTA, MP - Dewan Pers ingin dilibatkan dalam pembahasan RUU Rahasia Negara bersama Komisi I DPR. Tujuannya untuk menyelamatkan pers kembali terkekang seperti di era Orde Baru.
"Kami harap Dewan Pers diundang dan diajak dalam pembahasan UU Rahasia Negara," ujar Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara. Hal ini disampaikan Leo dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9).
Dewan Pers merasa perlu memantau perjalanan pembahasan RUU Rahasia Negara karena disinyalir adanya ancaman terhadap kebebasan pers. "RUU Rahasia negara mengancam membredel media lebih kejam dari jaman Belanda, ancaman pejara puluhan tahun dan dendanya ratusan juta," kata Leo.
Leo kemudian menjabarkan pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara yang dinilainya 'berbahaya'. "Pasal 49, di situ ada keterangan bagi korporasi yang melanggar rahasia negara bisa dicabut surat ijinnya," imbuh Leo.
Leo berharap DPR mau membuka diri dan melibatkan Dewan Pers. Leo kecewa selama ini Dewan Pers tidak dilirik DPR dalam proses pembahasan RUU Rahasia Negara.
"Seharusnya DPR terbuka, UU Perfilman juga tidak diajak dalam pembahasan. Ada kesengajaan dewan pers tidak diundang dalam pembahasan Undang-Undang Rahasia Negara," keluh Leo.
Sampai sekarang Leo terus melakukan lobi supaya niatnya terealisasi. "Saya sudah meminta tolong Menhan Juwono Soedarsono saya harap bisa diikutkan dalam Panja," tegasnya.
Untuk diketahui, hak pembahasan suatu UU hanya ada tangan DPR bersama pemerintah. Jika ada pihak lain ingin terlibat, bisa menjadi peninjau atau memberi masukan dalam Rapat dengar Pendapata Umum (RDPU) untuk serap aspirasi.
Tidak Berguna
Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang tengah dibahas DPR dinilai tak berguna. Ruang lingkup RUU terlalu luas, bahkan sudah merambah ke ranah birokrasi yang akan mengancam penegakan HAM, kebebasan Pers dan pemberantasan korupsi, sebagai syarat terwujudnya suatu negara demokrasi yang sehat.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi dengan tema "Isu-isu Seputar Keterbukaan Informasi Publik" di Hotel Nikko, Jakpus.
"RUU ini awalnya dibuat untuk UU Sandi Negara yang suka diintersepsi (disusupi) asing, tapi dalam pembahasannya ditelikung," kata Wartawan Senior, Budiarto Shambazy.
Hadir juga dalam diskusi Makmur Keliat dari Pacivis dan Kusnanto Anggoro
dari CIRIS.
Untuk diketahui, dalam draf RUU, Rahasia Negara tidak hanya menyangkut hal
yang terkait dengan keamanan nasional, tetapi meluas kepada wilayah birokrasi yang seharusnya tidak dirahasiakan dari publik. Klasifikasi Rahasia Negara juga tidak hanya menyangkut informasi, tetapi juga benda dan aktifivitas.
" Kalau wartawan mondar-mandir KPU, dan dianggap mengancam rahasia
negara. Itu bisa dipidana," cetus Shambazy.
Selain mengekang kebebasan pers, menurut Shambazy, UU Rahasia Negara juga bisa menghambat kreativitas wartawan untuk mendapat peliputan eksklusif.
"Ekslusivisme itu penting bagi wartawan. Saya kira semangat UU Rahasia
Negara cuma satu, semangatnya represif," pungkasnya.
Untuk penegakan HAM, Shambazy melihat, dengan adanya UU Rahasia Negara,
terungkapnya otak pelaku pembunuhan aktivis HAM Munir juga akan semakin
gelap. Demikian juga untuk pemberantasan korupsi, masyarakat bisa terjerat
pidana jika informasi awal pengungkapan kasus dianggap sebagai rahasia
negara.
Makmur, sebagai penyusun naskah akademik yang kemudian diolah menjadi draft RUU oleh pemerintah, pun merasa kajiannya telah ditelikung. Sebab, dalam kajiannya, RUU Rahasia Negara hanya ditujukan bagi hal yang terkait dengan keamanan nasional.
"Rahasia negara adalah informasi rahasia strategis yang sifatnya tertutup.
Ruang lingkup yang strategis yaitu terkait dengan keamanan nasional. Yang
tidak strategis tak perlu tertutup," ujar Makmur.
Ditentang
RUU Rahasia Negara mendapat penentangan. RUU tersebut dinilai berpotensi menghambat pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan menciptakan iklim politik yang sehat.
"Bagaimana mungkin membangun iklim politik yang sehat, melakukan pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum yang efektif jika ada RUU ini," ujar praktisi hukum Mas Ahmad Santosa sebelum melakukan pertemuan dengan Komisi I di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Mas Ahmad melanjutkan, isi RUU Rahasia Negara tersebut secara diametral bertentangan dengan demokrasi. Sebab, poin-poin dalam RUU tersebut sangat memungkinkan untuk membatasi masyarakat dalam mengakses informasi yang seharusnya bisa diakses publik.
Jika RUU ini diloloskan, kata dia, sama saja mengukuhkah rezim kerahasiaan.
"Misalkan dikaitkan dengan janji capres, maka tidak mungkin melakukan keterbukaan kalau RUU ini disahkan justru akan menguatkan rezim kerahasiaan," jelasnya.
Dia juga mengatakan bahwa RUU Rahasia Negara tidak terlalu penting untuk disahkan. Sebab, beberapa poin yang diatur RUU tersebut sudah ada di dalam UU Kebebasan Informasi nomor 14/2008.
Karena itu dia menilai ada baiknya jika DPR tidak mengesahkan RUU ini. "Kami minta RUU ini tidak dilanjutkan," tandasnya. (red/cok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar